Sumber: Twitter @piokharisma

Tahun lalu, di bulan ini, ada kejadian yang mungkin akan selalu teringat. Tahun lalu, di sepanjang jalan Jakarta, terlihat warna-warni pelangi. Kita semua tahu bukan, pelangi muncul setelah hujan, ya, pelangi yang memenuhi jalan-jalan di Jakarta juga muncul setelah hujan, tapi bukan yang turun dari langit, melainkan yang turun dari mata. Tahun lalu, sahabat-sahabatku berdiri tegak, saling rangkul, meninggikan suara untuk membela negara.

 

Tahun lalu juga, aku baru resmi menjadi seorang mahasiswa. Saat kejadian hebat itu, aku tidak bersama mereka, tapi bukan berarti aku tidak membela, karena doaku selalu menyertai mereka, karena dalam doa, aku selalu mengharapkan yang terbaik untuk Indonesia.

 

Sore itu, awan biru itu tercampur dengan asap abu-abu. Aku yang baru pulang kuliah dengan sangat jelas melihat itu. Kendaraan umum terhalang, lalu menurunkan para penumpang, aku yang termasuk di dalamnya pun ikut turun mau tidak mau. Halte sesak, semua ingin segera sampai rumah, tapi kendaraan umum sangat terbatas. Aku yang memilih bernapas lega akhirnya keluar dari halte itu, di luar halte aku melihat sahabat-sahabatku saling rangkul dan berlari menuju tempat aman. Masyarakat yang melihat ada yang bertepuk tangan dan ada juga yang menempuk jidatnya.

 

Aku memantau aplikasi dan melihat kendaraan umum yang sangat sedikit lalu mulai menggelengkan kepala. Napas yang sesak dan tubuh yang berdesak harus aku lalui jika ingin segera sampai rumah, ah, aku mulai merasa takut saat itu.

 

Datang bis yang menuju arah pulang. Bis itu mungkin melebihi kapasitas, namun apa boleh buat, semua orang ingin segera pulang, bahkan yang sedang berjuang pun merasakan hal yang sama. Pintu bis dibiarkan terbuka agar kita semua yang di dalam bisa bernapas lega. Aku berdiri tepat di depan pintu terbuka, melihat langsung mereka yang sedang berusaha menyuarakan hak kita. Mataku tidak bisa berkedip, aku mulai merasa takut lagi.

 

Bis berputar mencari jalan aman. Para penumpang yang berdiri mulai lelah. Tapi tidak dengan dia yang memakai batik dan berdiri tepat di sampingku di depan pintu itu. Di dalam bis ada suara yang bersaut-sautan, ada yang senang dengan kejadian ini dan ada yang kesal dengan kejadian ini. Ya, wajar, semua berhak berpendapat. Ada juga suara yang muncul dari balik gawai-ku, suara-suara kekhawatiran di antara sahabat-sahabatku. Yang di rumah merasakan kekhawatiran yang sama ketika melihat pesan di ruang obrolan, mendapat kabar ada yang hilang, ada yang terpencar, ada yang pingsan, ada yang lapar, ada yang kesakitan dan masih banyak lagi. Di ruang obrolan semua saling beri doa dan saling beri semangat.

 

Terdengar suara yang membuatku memalingkan mata ini dari gawai, ada yang bilang,

 

"Siapa sih mereka, bikin pulang jadi telat saja."

 

"Mereka mahasiswa pak, sahabat-sahabat saya!"

 

Ada rasa bangga, rasa salut, rasa senang ketika mengatakan itu. Walau tidak bersama, tapi semangatku selalu menyertai mereka.

 

Lekas sembuh Indonesia, lekas sembuh alam semesta! 


Bekasi, 25 September 2020